(foto tidak ada kaitannya dengan artikel, karena tak ada foto saya sedang belanja.hhee)
Kegiatan berdagang atau jual beli sudah biasa
dilakukan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Umumnya, dalam kegiatan
jual beli barang terjadi transaksi tawar-menawar harga. Alasannya sederhana,
agar antara penjual dan pembeli sama-sama merasa tidak dirugikan atau istilah
lainnya terjadi simbiosis mutualisme dalam kegiatan tersebut. Misalnya saja,
harga 1 ikat kangkung harganya lima ribu rupiah, maka pembeli kadangkalanya menawar harganya
dengan lebih murah. Mungkin pembeli menawar tiga ribu rupiah, empat ribu rupiah, atau empat ribu lima ratus rupiah, sampai terjadi
kesepakatan harga antara pembeli dan penjual. Jika kita amati, tawaran harga
pada masyarakat umumnya kelipatan 500-an. Itu artinya, uang recehan 500-an
masih digunakan oleh masyarakat. Namun, kebiasaan tawar menawar harga seperti
ini, tidak berlaku bagi masyarakat yang tinggal di kabupaten jayawijaya
khususnya masyarakat suku Dani. Apalagi mereka yang tinggal di distrik-distrik
(daerah yang jauh dari kawasan kota). Hal inilah yang menjadi keunikan atau
ciri khas pedagang mama-mama di papua.
Mama-mama papua yang menjajakan dagangannya, khususnya
hasil dari pertanian dan perkebunan Misalnya berbagai macam sayur (kangkung,
kol, sawi, dll), buah-buahan (nanas, alpukat, pisang, dll), bawang putih,
bawang merah, kunyit, cabe serta hasil perikanan, berbagai jenis ikan dan udang
selingkuh. Mereka menata atau menyajikan dagangannya tidak seperti pada
masyarakat pada umumnya. Mereka menjualnya berupa onggokan-onggokan atau
menumpukkan dagangannya berdasarkan perkiraanya saja. Tidak memakai timbangan.
Jadi, antara onggokan itu memiliki jumlah yang tidak sama. Contoh, antara
onggokan buah alpukat, ada yang terdiri dari 3 buah alpukat dan ada yang juga
yang terdiri dari 4 buah alpukat.mereka menyesuaikan dengan besar kecilnya buah
bukan dari timbangan. Biasanya yang dijual onggokan ini adalah bumbu-bumbu
dapur ,buah-buahan, ikan, dan udang
selingkuh. Sedangkan sayur mereka ikat seperti biasa.
Nah, keunikan lainnya yaitu cara mereka menjual
dagangannya. Seperti yang sudah saya tulis di awal, bahwa masyarakat di sana
tidak mengenal dengan uang recehan dan timbangan. pengecualiannya jika membeli
selain dari hasil pertanian, perkebunan, dan perikanan yaitu membeli
barang-barang di kios-kios maka sama dengan di tempat pada umumnya. Oleh karena
itu, dalam tawar-menawar harga, tidak akan pernah kita mendengar tawaran dengan
kelipatan 500. Masyarakat kab. Jayawijaya biasa menggunakan transaksi dengan kelipatan
lima ribu. Sebagai contoh, jika
kita mau membeli cabe, maka jangan bertanya saya mau beli cabe 1 kg atau 2 kg
karena mereka tidak mengenal satuan kg. Atau juga jika kita ingin membeli 3 onggokan
bawang putih harganya lima belas ribu rupiah, maka jangan menawar dengan harga dua belas
ribu rupiah, tiga belas ribu rupiah, apalagi yang
ujungnya 500 an, misalnya tiga belas ribu lima ratus rupiah karena itu hanya sia-sia saja. pedagang mama-mama papua akan bingung dan
menggelengkan kepala serta menggoyangkan tangannya berupa penolakan. Sehingga,
jika kita ingin membeli cabe, kita cukup melihat saja, berapa onggokan yang
akan kita beli. Dan jika kita ingin menawar 3 onggokan cabe yang harganya lima belas ribu, maka kalian bisa langsung
menawar dengan harga sepuluh ribu atau tidak menawar sama sekali. Sama halnya apabila ingin membeli udang
selingkuh. Biasanya udang yang mereka jual dimasukkan ke dalam kantong plastik
tanpa ditimbang terlebih dahulu. Jika kita beruntung maka kita akan mendapatkan
harga yang jauh lebih murah dan jumlanhya banyak.
Satu hal lagi, pedagang mama-mama papua tidak
menyediakan kantong plastik untuk diberikan kepada pembeli. Jadi, kita harus
membeli dulu di kios atau membawa sendiri dari rumah. Bagian ini, sepertinya
yang paling diharapkan pemerintah kita saat ini karena mampu mengurangi tingkat
penggunaan kantong plastik. Pedagang mama-mama papua sudah menerapkan itu sudah
cukup lama dan mungkin bagi saya menjadi pionernya pedagang yang tidak
menggunakan kantong plastik. Jika kita baru pertama kali datang, bisa
dipastikan kita akan terkejut dan heran. Tapi, inilah budaya mereka, kebiasaan mereka.
Kita harus menghormatinya.
0 Comments