Setia Pada Kata
Oleh : Andres
Pransiska
"Candu itu bernama mengajar"
(Anonim)
(Anonim)
Bukankah
mendidik adalah tugas semua orang terdidik?
Baru 8 bulan
perjalanan ini menemani. Jika dikalkulasikan, maka kurang lebih barulah hanya
sekitar 240 hari saja. Ini merupakan waktu yang sangat singkat untuk bisa
menyelesaikan membaca arah sebuah cerita ini mau dibawa kemana. Kami baru
membuka halaman-halaman depan kisah ini. Kami hanya baru menelusuri judul-judul
besarnya. Perjalanan ini masih teramat sangat panjang.
Tapi sungguh,
dalam waktu itu adalah waktu yang cukup untuk kami syukuri. Kami telah diberi
kesempatan berguru langsung pada kejadian-kejadian untuk belajar tentang apa
itu kehidupan. Kami dipertemukan dengan orang-orang yang mengagumkan. Mereka,
yang terus bekerja dalam sunyi meski tak ada yang melihat. Mereka, yang bekerja
dengan hati mencurahkan segala pikiran dan tenaganya. Mereka, yang fokus pada
perubahan menuju arah kebaikan. Tangan-tangan kecil itu sekilas nampak tak
berdaya, tapi ketika kita kumpulkan seluruhnya, ia menjadi sebuah kekuatan
masif.
Di sini kita
bertemu dengan anak-anak rawa: anak-anak yang sedang belajar bahwa kebanggaan
itu harus diperjuangkan. Belajar bahwa niat baik dan kekerasan hati saja tak
cukup untuk mengubah keadaan. Belajar bahwa solusi hidup bukanlah kata-kata
motivasi, tapi tindakan nyata, meski sesederhana mengeja kata demi kata untuk
menatap masa depan.
Tentang
Guru-guru yang membunuh mimpi mereka demi generasi masa depan. Yang sedang
berdamai dengan hati atas setiap konsekuensi dari pilihannya. Ada banyak kisah
tentang mereka. Misalnya, kisah seorang guru SMP di pelosok yang menemukan
sebagian anak didiknya mengalami kesulitan dalam membaca dan menulis, padahal
kedua kemampuan tersebut termasuk pelajaran dasar yang harus dikuasai dengan
mahir. Maka ia mencoba untuk memperbaikinya, dengan selalu meluangkan waktunya
untuk mengajari anak-anak tersebut dan remaja-remaja disana untuk belajar
meskipun diluar jam sekolah. juga menjadi perintis kegiatan yang mendukung
pengembangan wawasan anak-anak di desanya, seperti Gerakan Desa Membaca dan
Rumah Qur'an.
Lain lagi halnya
dengan kisah lainnya. seorang guru di ujung pulau. mengajar dan mendidik adalah
kesehariannya. Bahkan mendidik tak hanya ia terapkan dalam batas sekat sekat
dinding sekolah. dengan segala keterbatasan yang ada. Ia menyulap proses
belajar itu menjadi menyenangkan. Pohon pengetahuan menjadi medianya. Satu
kelas disuruh berkomentar mengenai puisi atau cerita di blognya adalah seninya.
Dari sana ia dicintai anak-anak muridnya. Dari sana ia mendapatkan tempat
dihati muridnya. Tak jarang anak-anak dengan senang hati datang kerumahnya
untuk menemani pelipur lara atas kesendirian statusnya. Bahkan mereka rela
tidur digigit nyamuk dirumah gurunya, hanya untuk sekedar melewati penggal
malam bersama gurunya. Belum lagi kerang, udang, ikan-ikan yang menjadi
tentengan gratis dari mereka disetiap hadir kerumah gurunya.
Atau kisah
seorang guru wanita yang terdampar di batas wilayah negeri seribu parit.
Menapaki perjalanan ke sekolah seorang diri melewati kebun-kebun persis seperti
hutan belantaraya. Jalan-jalan tanah yang dilaluinya. Gelap, sepi, jauh dari
keramaian. Bahkan tak jarang batang-batang papan atau pinang menjadi jembatan
titianya. coba bayangkan jika jalan-jalan tanah tersebut diguyur hujan
berkepanjangan. Maka bukan main licaknya jalannya. Itulah keseharian jalan yg
ia lewati. Belum lagi kisah disekolahnya. Keterbatasan sumber daya manusia
pengajar, listrik yang belum masuk, dan hal hal lainnya. Tak membuat ia
berpaling hati dari sekolahnya. Bahkan sebagai komitmennya setia pada kata. Ia
justru menjadi solusi atas permasalahan yg ada. adalah ia salah satunya gerakan
membudayakan bahasa Indonesia disekolah. Bahasa yang menjadi bahasa persatuan
sekolah bagi beranekaragam bahasa anak didiknya disekolah.
Dan masih banyak
kisah lainnya. Tentunya untuk mereka yang sebagian besar hidupnya dihabiskan di
kota besar, menjadi pengajar di daerah terpencil tidaklah mudah. keterbatasan
sumber daya listrik, komunikasi, terisolasi oleh jarak dan jauh dari pusat
keramaian. Tapi mereka memilih menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan.
Begitulah, sebagian besar barisan guru-guru ini luar biasa nyata adanya. Dan
semuanya memperkaya kamus makna kita disana.
Dengan
keterbatasan. Menyaksikan mimpi itu tumbuh tinggi, terkadang jatuh bangun dan
patah hati, hingga akhirnya menyadari bahwa ini bukanlah tentang menuai
janji-janji, ini adalah tentang keberanian untuk bermimpi itu sendiri. Seperti
kata Anis Baswedan, "Pengalaman ini selalu bisa dinikmati sebagai
pengalaman positif bahwa negeri ini sedang bergerak maju."
Terimakasih untuk setiap
mata-mata yang masih setia pada kata.
#NgeDesa
*Kumpulan Aktualisasi Yang
Berserak, 8 November 2019
2 Comments
Mantap. Bagus ini dibuat buku.
ReplyDeleteMksih... Doakan ya... Smoga kmi bs merealisasikannya
ReplyDelete