Tong
… tong … tong … Nyaring bunyinya
Drumnya
kosong … tolong isi airnya
Hari
ini kepalaku pusing tujuh keliling karena persediaan air semakin menipis. 3
drum di dalam rumah … 2 diantaranya sudah kosong … yang tersisa hanyalah
sisa-sisa air kotor yang berada di dasar drum. Sedangkan 1 drum hanya terisi
seperempat drum saja. Berharap tuhan menurunkan hujan … supaya aku bisa
menampung air yang banyak. Namun … sudah berapa minggu ditunggu, air belum nampak
pula hilalnya. Kebutuhan air sudah tak bisa menunggu. Cucian menumpuk … butuh
air … air minum habis … butuh air … masak ini itu … butuh air … dan segala
kegiatan di kamar mandi … butuh air. Aku bisa apa coba way … kalau keadaannya
begini … rasanya inginku teriak … yuhiya hiyu hiya hiyu … arrrgghhhh …
Setelah
lama berpikir way … akhirnya aku mencari dewa penolong yang bisa membantuku
untuk mengisi air didrumku. Merekalah murid-muridku yang baik hati dan aku
sayangi … Harazi dan Barizal namanya. Kusuruh mereka ke rumahku selesai pulang
sekolah untuk mengambil air bor yang disediakan gratis oleh desa untuk
warganya. Dengan wajah tersenyum dan hati yang tulus mereka mau membantu bapak
gurunya mengambil air bor. Syukurlah … aku sangat berterima kasih kepada tuhan
atas kemudahan ini.
Setelah
beberapa waktu usai pulang sekolah, terdengar pintu orang mengetuk pintu. Ternyata
kedua anak muridku menepati janjinya untuk mengisi air drumku. Mereka
mengatakan akan menggunakan sampan untuk mengambil airnya. Biar proses
membawanya lebih mudah dan tak bikin capek bila diangkut pakai gerobak. Dan
memang posisi tempat tinggalku terletak di pinggir laut dan pintu dapur
menghadap langsung ke arah laut sehingga jadi lebih mudah untuk menbawa airnya.
Mana bagusnya aja ya … kataku pada mereka. Mereka mengangguk dan pulang lagi ke
rumah mereka untuk mengambil sampan.
Beberapa
waktu kemudian … dari belakang rumah mereka lewat mendayung sampan. Kulihat
banyak ember berjajar di dalam sampan. Dengan penuh semangat mereka mendayung …
sambil tersenyum mereka mengatakan … kami ambil air dulu Pak. Hati-hati …
kataku mengingatkan mereka. Kupandangi mereka dari pintu dapur sampai sampan
mereka mengecil lalu hilang dihalang oleh jarak. Lalu … aku melanjutkan tugas
kenegaraan di dalam rumah … memasak dan mencuci piring. Maklumlah way … masih
bujangan … jomblo lagi … tahu sendirilah
… hhee … walaupun begitu way … aku tetap bahagia menjalani kehidupanku seperti
ini … dan senantiasa bersyukur apapun keadaan yang aku hadapi … karena aku
yakin semuanya sudah diatur oleh tuhan … yekan way … iyein ajalah pokoknya ya
way … biar cerita ini bisa lanjut … wkwk
Selesai
semua urusan perdapuran kukerjakan … aku istirahat sejenak duduk di kursi dekat
pintu dapur sambil menunggu muridku membawa air kehidupan. Air laut masih asyik
bergelombang menghentakkan kayu-kayu pondasi rumah dan mengajak aku untuk
merasakan sensasi goyangannya yang membawaku seakan-akan berada di dalam
kereta. Ditambah lagi air laut yang berhembus mengantarkan kesejukan di siang hari
yang gerah ini. Ingin rasanya aku tidur menikmati suasana yang penuh kedamaian …
tapi aku tak bisa way … karena harus menunggu muridku datang. Karena aku ingin
melihat perjuangan mereka membawakan air yang sangat kubutuhkan.
Seiring
suara ombak dan bunyi kayu yang tertiup angin … samar-samar dari kejauhan
kulihat sampan yang kutunggu itu. Semakin dekat dan semakin jelas mereka
menghampiriku dengan berember-ember air di dalam sampan. Mereka memarkirkan sampan
dengan menambatkan tali di kayu. Ni Pak airnya … kata mereka. Wah … banyaknya …
kataku dengan riang. Tanpa disangka respon mereka tidak seperti perkiraanku.
Masih sedikit ini Pak … nanti kami ambil lagi … ujar mereka dengan
sungguh-sungguh. Dan memang benar … setelah air kami angkut ke atas rumah lewat
pintu dapur … air yang kami masukkan ke dalam drum hanya terisi setengah saja. Lalu,
mereka pergi lagi … setidaknya dua kali bolak-balik mereka ambil air … barulah drumku
terisi penuh. Luar biasa … sahalut aku dengan kebaikan kedua anak muridku ini.
Terima kasih sudah membantu bapak guru ya Nak … kataku degan bangga kepada
mereka. Iya Pak … sama-sama. Nanti … kalau airnya sudah habis … bilang sama
kami ya Pak … mereka menawarkan jasa yang tulus tanpa modus didalamnya. Akupun
mengangguk mengiyakan perkataan mereka.
Sebelum
mereka pulang … kusuruh mereka minum air jasu … alias jahe susu buatanku. Entah
karena mereka memang haus atau suka dengan minuman buatanku … (menurutku karena
alasan yang terakhirlah way) … air jasunya habis. Maksa banget yak … hhaaa … Selesai
mereka minum … mereka mengatakan ingin mengajakku jalan-jalan naik sampai
mengelilingi Desa Belaras. Ah … luar biasa syekali anak-anak ini … aku terharu
dibuat mereka … mengingat dan menimbang ini dan itu … kuputuskan untuk menerima
tawaran mereka. Tak butuh waktu lama … setelah aku mengunci pintu depan … kami pun turun ke sampan dan bergegas pergi
memulai travelling sore kami. Are you ready … let’s go way …
Selama
perjalanan … banyak cerita yang kudengar tentang kegiatan mereka sebelumnya …
mereka mengatakan pernah diajak orang tuanya mencari udang … memancing ikan di
malam hari … pergi mendayung sampan berjam-jam ke desa lain hanya untuk
mengantarkan jagung. Dari cerita-cerita murid-muridku ini … mengajarkan aku
banyak hal tentang kehidupan di daerah perairan. Ada satu cerita yang membuatku
sedih … mereka berdua mengatakan … kalau sampai hari ini … mereka belum pernah
sekali pun pergi ke Tembilahan. Ya tuhan … limpahkanlah aku sedikit rezeki agar
suatu saat nanti aku bisa mengajak mereka berdua pergi ke Tembilahan agar
mereka juga merasakan bagaimana kehidupan dan suasana di kota. Doakan ya way …
aamiin …
Matahari
mulai lelah menerangi dunia … dia mulai beranjak turun kembali ke peraduannya.
Dan kami pun tak terasa sudah sampai lagi di belakang rumah setelah lebih
kurang 1 jam lamanya berkeliling sampan. Terima kasih untuk hari ini
anak-anakku … bapak guru bangga dengan kalian … doa terbaik untuk kalian dariku
… dadaaaa ….
Belaras,
15 Oktober 2019
Travelling sore bersama anak murid
0 Comments